Sunday, February 13, 2005

fragment I

Jaka Tarub

Kukecup keningmu.
Aku merasakan rasa asin keringat, kau habis berlari mengejar kereta, kau hampir terlambat, kereta hampir berangkat. Kupikir kau tak jadi berangkat (aku sudah cukup bahagia memikirkan kau tidak jadi pergi ataupun hanya mengundurkan kepergianmu barang sehari atau dua hari lagi).
Aku sudah menunggumu dari 30 menit yang lalu di stasiun ini.
Kita hanya sempat berpelukan sesaat sebelum kukecup keningmu (hampir saja kukecup bibirmu tapi aku menyadari terlalu banyak orang disana dan aku tidak cukup punya keberanian untuk itu…dan matamu juga menginginkannya)

Kau mulai berbalik melangkah menuju keretamu. Aku menarik tanganmu kembali, dan kau pun seperti melaju menuju pelukanku. Aku mengecup keningmu kembali dan mulai mengumpulkan keberanian untuk mengecup biburmu atau bahkan menciumnya. Dan kau yang pertama memiliki keberanian itu. kau mencium bibirku dan aku pun mencium bibirmu. Kita tak peduli lagi paad orang orang. Hanya sepersekian menit tetapi aku tahu kita akan mengingatnya.
Aku melepaskan pelukan
“kau menangis” katamu
aku meraba pipiku dan merasakan cairan hangat di pipiku.
Kau berbalik menuju keretamu tanpa menengok lagi padaku.
Aku tahu kau pun menangis.

Pengeras suara stasiun mengumumkan kereta berangkat.
Aku menatap kereta yang mulai menderu. Aku tak melihatmu. Aku tak tahu gerbongmu yang mana. Aku hanya menatap kereta.
Dan rasa bibirmu yang bearoma rokok (kau tak menepati janjimu untuk berhenti merokok) dan rasa keringatmu masih menempel semakin kuat di bibirku. Dan kau merindukannya.

Itu terjadi pada sebuah sore. Di sesuatu senja. Yang gerimis tetapi senja begitu keemasan. (seharusnya ada pelangi). Saat yang tepat untuk sebuah perpisahan. Saat yang sendu saat melankolis.
Dan cahaya senja yang kemerahan itu membawamu pergi atau gerimis yang membawa pergi. Atau kau yang membawa senja pergi sebab setelah keretamu menghilang gerimis semakin deras dan senja menjadi hitam.
Dan aku pulang, membiarkan diriku basah, tersiram hujan yang semakin deras. Aku seperti mengharapkan seseorang ada di rumah menunggu dengan omelan seperti biasanya saat aku pulang dalam hujan yang basah.
Omelan omelanmu, aku membencinya jika aad tetapi akan sangat merindukannya.
Aku menyusuri jalanan yangs emakin menggenang, beberapa orang melihatku dengan pandangan yang aneh, beberapa orang mengajakku berteduh, beberapa orang yang berkendaraan menggodaku dengan cipratan terkena roda kendaraan.
Aku tak peduli. Tubuhku yang basah telah membuatku menggigil.

aku memasuki gerbang kecilku. Menatap teras rumah yang kecil. biasanya kau ada disana menungguku dengan secangkir the panas dan beberapa potong makanana dan biasanay pisang goreng.
Kau akan memandangku dengan wajah siap mengomel. dan kau biasanya telah siap dengan sebuah senyuman.
Tetapi tidak apapun disana. Tak ada wajahmu yang muram. Tak ada omelan. Tak ada teh panas atau pisang goreng. Tak ada apapun da siapapun hanya kursi rotan tua.

Aku membuka pintu rumahku dan aku melihatku yang semalam sedang menangis memeluk kakimu. Aku mendengar suaraku yang memohon. Suaraku yang menangis. suaraku.
Aku melihatmu yang membatu.
Aku meliaht tanganmu memegang lembar lembar guntingan kertas.
Aku melihat matamu yang mengerti mengapa tak ada televisi di rumah ini, mengapa tak ada koran di rumah ini, majalah atau radio pun tak ada.
Akhirnya kau pun menemukan selendangmu, nawang wulan, selendnag untuk tiket kepergianmu. Akhirnya kau mengerti mengapa aku memanggilmu nawang wulan. Akhirnya kau mengerti kau harus meninggalkanku. Akhirnya segala yang ada di ingatanmu datang padamu, menyapamu dan masa lalumu datang kembali.
Aku telah menyimpan kertas kerats itu di gudang. Selendang itu.
Seperti juga nawang wulan kau harus meninggalaknku.
Tapi aku belum mneikahimu dan kau belum memberikuseorang anak.
Aku menatap adegan semalam dengan mata basah dan tubuh yang basah.

Dan senja ini. Kau terbang meniti cahaya senja bukan lewat pelangi. Menari dengan selendangmu
Beberapa saat yang lalu kau telah meninggalkanku.
Dan sekarang aku begitu merindukanmu.