Saturday, February 12, 2005

nawang wulan

Nawang Wulan

Maaf aku harus meninggalkanmu.
Aku memang sengaja datang terlambat. Aku sudah melihatmu sejak beberapa menit yang lalu dan kau berharap tidka bertemu denganmu di stasiun itu. aku tidak ingin menangis atau melihatmu menangis. aku tidak menyukai sebuah perpisahan dis ebuah stasiun, bandara, pelabuhanatau terminal. Aku ingin pergi diam diam tanpa lambaian tangan atau pelukan atau bahakan ciuman atau kecupan. Aku hanya ingin pergi sendirian. Tak ada basa basi selamat berpisah atau sampai jumpa lagi. Sebab aku tahu aku taka kan kembali lagi. Jadi lebih baik tak ada apapun yang harus diingat atau dikenang di perpisahan ini. Aku sudah mengatakannya semalam.
Aku melihatmu begitu tenang. Kau tak sedikitpun gelisah. Kau hanya sesekali menengok ke gerbang masuk. Tetapi aku tahu matamu begitu gelisah dan berharap aku tak datang dan tak jadi pergi.

Aku menatap dari belakangmu, menatap rambutmu yang panjang hitam bergelombang (aku begitu menyukai rambutmu). Menatap ketenanganmu yang gelisah. Aku hampir saja langsung naik ke kereta tanpa menemuimu tetapi sungguh aku tak punya ketegaan yang besar untuk melakukannya.
Aku pura pura berlari, memang aku sudah berkeringat sejak tadi bukan karena aku berlari tetapi karena aku merasa gelisah dan kepanasan.
Kau melihatku. Matamu tak berbinar, matamu meredup semakin gelap, semakin kelam. Aku tak berusaha menatap matamu. Aku memelukmu untuk lari dari matamu. Dan dengan cepat kulepaskan. Tetapi kau menarik tanganku dan aku tertarik pada tubuhmu, kau mengecup kenigku kembali dan tiba tiba aku ingin kau mengenang sesuatu tentang saat ini, kucium bibirmu dan kemudian dengan cepat melepaskannya. Aku berbalik menuju kereta aku tak ingin menatapmu, matamu yang semakin kelam.
Kereta berangkat dan aku sempat melihtamu yang sedang berusaha mencariku di gerbong gerbong yang melaju semakin cepat dengan mata kelammu.
Di luar senja semakin hitam dan kelam, gerimis semakin deras dan aku tahu kau akan berjalan melewati jalanan yang basah dengan tubuh yang basah, baju yang basah dan mata yang basah, kau terlalu mudah ditebak. Dan kau masih berharap aku ada di teras dengan teh panas, omelan, sebuah handuk hangat, pisang goreng.
Aku tak ada disana lagi.
Kau hanya akan menemui gerbang kecil, halaman rumput yang basah, teras yang kosong dengan 2 kursi rota yang lapuk, dan rumah yang sepi dengan ceceran kertas. Aku belum sempat membereskannya.

Aku masih menatap luar lewat jendela yang semakin basah. Lewat air yang semakin deras. Di luar malam semakin gelap dan kelam.
Aku tidka tahu apa yang akan kutemui, tetapi tulisan dan photo di guntingan guntingan koran itu masih terbayang melekat keras di ingatanku.
Gambar gambar yang kukenal, tulisan tulisan yang mengebalikans esuatu yang hilang. Dan kemudian membuatku mengerti banyak hal.
Mengerti bahwa aku harus meninggalkanmu.
Membuatku mengerti bahwa aku harus pergi.
Maaf.
Lagipula aku bukan nawangwulan.